"Jam Hiji Dua Puluh Salapan Menit"

Produksi ke-25 Tahun 2016

"K A L A N G S U"

Produksi ke-24 Tahun 2016.

"O R A N G A S I N G"

Resital STIA 2016

GELAR KREATIVITAS SENI MAHASISWA 2017

26 th Teater Lima Wajah.

Pementasan Drama Cucunguk

PRODUKSI Ke-23 Teater Lima Wajah.

Footer

Senin, 18 Juni 2012

Godi Suwarna: Maestro Puisi Sunda

Godi Suwarna adalah penyair, cerpenis, dramawan, dan novelis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 23 Mei. Ia telah mengkoleksi lima kumpulan puisi: Jagat Alit (1978), Surat-surat Kaliwat (1984), Blues Kéré Lauk (1994), Sajak dongeng Si Ujang (1996), dan Jiwalupat; dua kumpulan cerpen Murang Maring (1982) Serat Sarwasatwa (1995); serta dua novel berjudul Sandékala (2007) dan Déng (2009). Semuanya dalam bahasa Sunda. Berbagai penghargaan sastra sudah ia peroleh. Ia tiga kali ia meraih hadiah sastra Rancage untuk Blues Kéré Lauk, Serat Sarwasatwa, dan Sandékala. “Saya sudah mendapatkan hattrick Rancage,” ujarnya. Godi meraih hadiah tahunan itu untuk tiga kategori sekaligus, puisi-cerpen-novel. Godi Suwarna adalah sejenis manusia Sunda unik, yang agaknya belum teridentifikasi dalam buku Manusia Sunda-nya Ajip Rosidi. Ia ibarat bocah bengal yang mengacak-acak “rumah” kesusastraan Sunda, tetapi tetap tidak mau beranjak dari sana.

Bertolak dari pemahaman tradisi Sunda yang terbilang kuat ia mengikrarkan sebuah kredo penolakan pada tradisi itu. Godi sangat tersiksa hidup di tengah kemapanan kehidupan sastra Sunda yang dinilainya “begitu-begitu” saja. Didukung oleh konflik psikologisnya dan keuletan pencariannya, Godi menemukan gairah untuk memberi nafas baru bagi tradisi yang melingkupinya itu. Sebuah gerakan yang sempat menggoncangkan jagat sastra Sunda, sekaligus memantapkan Godi sebagai salah satu pilarya. “Saat ini saya sedang gandrung dengan fiksimini Sunda,” tuturnya. “Ternyata gerakan ini sangat menggairahkan. Seribu orang lebih bergabung sebagai penulis, tak terhitung yang sekedar ikut membaca dan menjadi anggota. Sejak diluncurkan pada pertengahan September 2011, lebih dari 20 ribu karya sudah diposting dan ditampilkan,” sambungnya penuh semangat.


Fiksimini Sunda memang sangat fenomenal. Saat ini boleh disebut sebagai kegiatan sastra paling aktif di Indonesia yang menggunakan jasa sosial media facebook. Anda bisa melihatnya di: https://www. facebook.com/groups/fikminsunda/ atau melalui website: http://fikminsunda.com/. Godi_S-1 Godi Suwarna in action. Foto: dok. pribadi. Godi adalah penulis dengan jiwa gelisah yang terbelah. Seperti bisa dilihat dari cerpen-cerpennya yang berupa wacana tentang subyek yang membelah. Subyek yang labil terhadap konteks. Ia selalu memunculkan tokoh tipologis. Tokoh-tokoh yang hanya ia jadikan saluran untuk menumpahkan gagasan-gagasannya. Ia bertualang ke mana-mana dan bertengger di mana-mana. Namun sejatinya Godi tengah mengajak menyelam ke dalam lubuk jiwa yang tersembunyi, memperlihatkan kehidupan anak muda Sunda pada akhir abad ke-20, yang telah menampakkan serba-pengaruh, yang dunianya bukan lagi alam Priangan yang sepi tenteram.

Di satu sisi ia begitu cemas dan khawatir memandang kehidupan, pada sisi lain ia mencitakan sebuah kehidupan sastra yang beridentitas, sastra yang dalam istilah Vladimir Braginsky disebut memiliki “kesadaran-diri” sebagai bagian dari warga sastra dunia. Karena itulah ia sangat mendambakan kritik, agar ia bertambah kokoh memijak bumi. Sebagai orang Sunda ia tak mau lepas dari tradisi, tetapi sebagai manusia kiwari, ia dengan jujur dan sadar berdialektika menerima perubahan. Pada saat bertolak dari tradisi, ia pun menolaknya dengan menjungkir-balikkan pakem. Ia menerima namun juga menghendaki. Gaya pribadi paradoks, yang sebenarnya lazim saja bagi seorang pencari yang serius.

Tak heran kalau almarhum Rendra pun sempat terpukau melihat penampilan Godi dan mengatakan, "Godi adalah kekayaan sastra Sunda.” Oleh karena itu, menurut Si Burung Merak, “Orang Sunda berkewajiban memperlihatkannya ke belahan langit yang lain.” Merujuk “fatwa” Rendra itu, bolehlah dikatakan bahwa Godi Suwarna adalah salah satu sumbangan terbaik Sunda untuk khazanah sastra dunia. Tak berlebihan jika kemudian Godi mempunyai sejumlah “pengikut”. Pada dasarnya ia seorang yang sangat santun dan familiar. Rumahnya di Ciamis, sebelah selatan Jawa Barat, terbuka setiap saat menerima kunjungan para junior untuk belajar, atau teman sejawatnya yang mengadukan berbagai persoalan di kota besar, atau para ”mualaf” yang sekedar ingin mengenal khazanah sastra Sunda. Ia pun beberapa kali menjadi obyek penelitian sarjana sastra, atau wartawan media.

Godi dengan senang hati menerima mereka tanpa pernah memasang tarif. Terkadang ia sangat bijak dengan meredam emosi teman-temannya yang kerap bentrok dengan sastrawan-sastrawan tua. Selamat datang di Melbourne, Godi! (DIY)

sumber :  http://foria.co/tamu-kita/godi-suwarna-maestro-puisi-sunda.html

Jumat, 15 Juni 2012

Pementasan Drama



Pementasan Drama 

Judul : “ CUCUNGUK ”
Naskah : Yoseph Iskandar
Sutradara : Agus Sudrajat

Waktu dan Tempat Kegiatan

Hari / Tanggal : Jum’at dan Sabtu / 15,16 Juni 2012
Waktu : pukul 13.30 dan 15.30 WIB
Tempat : AULA Universitas Kebangsaan Bandung
Alamat : Jl. Terusan Halimun No.37 Bandung






Minggu, 10 Juni 2012

Menulis Naskah Teater

            Setelah kita mengenal berbagai macam dasar yang diperlukan untuk bermain drama, akhirnya sampailah kita pada naskah. Naskah disini diartikan sebagai bentuk tertulis dari suatu drama. Sebuah naskah walaupun telah dimainkan berkali-kali, dalam bentuk yang berbeda-beda, naskah tersebut tidak akan berubah mutunya. Sebaliknya sebuah atau beberapa drama yang dipentaskan berdasarkan naskah yang sama dapat berbeda mutunya. Hal ini tergantung pada penggarapan dan situasi, kondisi, serta tempat dimana dimainkan naskah tersebut.
          Sebuah naskah yang baik harus memiliki tema, pemain / lakon dan plot atau rangka cerita.
  • Tema 
Tema adalah rumusan inti sari cerita yang dipergunakan dalam menentukan arah dan tujuan cerita. Dari tema inilah kemudian ditentukan lakon-lakonnya.
  • Lakon 
Dalam cerita drama lakon merupakan unsur yang paling aktif yang menjadi penggerak cerita.oleh karena itu seorang lakon haruslah memiliki karakter, agar dapat berfungsi sebagai penggerak cerita yang baik. Disamping itu dalam naskah akan ditentukan dimensi-dimensi sang lakon. Biasanya ada 3 dimensi yang ditentukan yaitu :
    1. Dimensi fisiologi    ; ciri-ciri badaniusia, jenis kelamin, keadaan tubuh, cirri-ciri muka,dll.
    1. Dimensi sosiologi   ; latar belakang kemasyarakatanstatus sosial, pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobby, dll.
    1. Dimensi psikologis ; latar belakang kejiwaantemperamen, mentalitas, sifat, sikap dan kelakuan, tingkat kecerdasan, keahlian dalam bidang tertentu, kecakapan, dll. 
Apabila kita mengabaikan salah satu saja dari ketiga dimensi diatas, maka lakon yang akan kita perankan akan menjadi tokoh yang kaku, timpang, bahkan cenderung menjadi tokoh yang mati.
  • Plot 
Plot adalah alur atau kerangka cerita. Plot adalah suatu keseluruhan peristiwa didalam naskah. Secara garis besar, plot drama dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
    1. Pemaparan (eksposisi) 
Bagian pertama dari suatu pementasan drama adalah pemaparan atau eksposisi. Pada bagian ini diceritakan mengenai tempat, waktu dan segala situasi dari para pelakunya. Kepada penonton disajikan sketsa cerita sehingga penonton dapat meraba dari mana cerita ini dimulai. Jadi eksposisi berfungsi sebagai pengantar cerita.
    1. Dialog 
Dialog berisikan kata-kata. Dalam drama para lakon harus berbicara dan apa yang diutarakan mesti sesuai dengan perannya, dengan tingkat kecerdasannya, pendidikannya, dsb. Dialog berfungsi untuk mengemukakan persoalan, menjelaskan perihal tokoh, menggerakkan plot maju, dan membukakan fakta.
    1. Komplikasi awal atau konflik awal 
Kalau pada bagian pertama tadi situasi cerita masih dalam keadaan seimbang maka pada bagian ini mulai timbul suatu perselisihan atau komplikasi. Konflik merupakan kekuatan penggerak drama.
    1. Klimaks dan krisis 
Klimaks dibangun melewati krisis demi krisis. Krisis adalah puncak plot dalam adegan. Konflik adalah satu komplikasi yang bergerak dalam suatu klimaks.
    1. Penyelesaian (denouement)
Drama terdiri dari sekian adegan, dimana didalamnya terdapat krisis-krisis yang memunculkan beberapa klimaks. Satu klimaks terbesar dibagian akhir selanjutnya diikuti adegan penyelesaian.

Program kerja yang pernah dilaksanakan

Program kerja yang pernah dilaksanakan

Program-program kerja yang telah dikasanakan dari masa pendirian Teater Lima Wajah hingga sekarang, diantaranya :

1.    Tahun 1992
a.     Mengadakan lomba baca puisi tingkat SLTA dan umum yang diikuti oleh 45 Peserta
b.     Mengisi acara dunia kampus yang diselenggarakan oleh TVRI Bandung
c.     Mengadakan diskusi di sanggar Jeihan bersama kelompok kelompok Teater Bandung.
d.     Produksi Teater Lima Wajah pertama 

2.    Tahun 1993
a.     Membuka Studi Teater tingkat SLTA
b.     Happening Art.

3.    Tahun 1994
a.     Mengikuti Jambore Teater tingkat Nasional di Jakarta .yang diikuti Oleh 23 Propinsi.
b.     Mengisi acara dunia kampus.yang diselengarakan TVRI Bandung.
c.     Megikuti Pasanggiri Drama bahasa sunda tingkat Jawa Barat.
d.     Megisi gelar teater di UNISBA
e.     Produksi II Teater Lima Wajah (Nujaradi Korban ).
f.      Produksi  III Teater Lma Wajah ( Kasir Kita ).
g.     Produksi IV Teater Lima Wajah ( OBI ) .

4.    Tahun 1995
a.     Produksi V Teater Lima Wajah (Indonesia Tergores).
b.     Mengisi Gelar Teater di LISMA UNPAS.
c.     Megadakan Lomba Baca Puisi PendidikanTingkat SLTA dan Umum Sekotamadya Bandung.

5.    Tahun 1996
a.     Membuka Studi teater tingkat SLTA dan Umum diikuti oleh 10 peserta.
b.     Produksi VI Teater Lima Wajah (Kursi Kursi).
c.     Megisi gelar teater di Lisma UNPAS
d.     Produksi VII Teater Lima Wajah ( Kursi Kursi Plus)
e.     Produksi VIII Teater Lima Wajah (Hitam Putih Kosong)
f.      Produksi IX Teater Lima Wajah ( Arwah Arwah)
g.     Produksi X Teater Lima Wajah  ( Harta )
h.     Produksi XI Teater Lima Wajah (Tamu Kita)
i.      Produksi XII teater Lima Wajah (Kursi Kursi Siang Malam ).
j.      Produksi XIII Teater Lima Wajah (Ilmu Hukum).

6.    Tahun 1997
a.     Produksi XIV Teater Lima Wajah ( RT 0 RW 0)
b.     Produksi XV Teater Lima Wajah ( Suami Istri Jam 5 pagi.)
c.     Megisi Gelar Teater di Lisma UNPAS.

7.    Tahun 1998
a.     Happening Art
b.     Megisi Acara Expo seni Pasundan yang diseleggarakan Lisma UNPAS.
c.     Menyelenggarakan Festval Teater Antar SLTA seJawa Barat. I
d.     Mengisi acara di Gedung Kesenian Taman Ismail Marzuki Jakarta .
e.     Megikuti Pasanggiri Drama Bahasa Sunda (Lamaran )

8.    Tahun 1999
a.     Produksi XVI Teater Lima Wajah (Air Mata Tanah Air.)
b.     Megisi acara di RRI bandung dalam acara “ Silaturahmi mahasiswa RIAU”.
c.     Happenig Art.
d.     Megisi acara di Inagurasi ITA.

9.    Tahun 2000
a.     Mengisi acara di Hari Lingkungan sedunia yang diadakan oleh HMTL ITA
b.     Produksi XVII Teater Lima Wajah ( Jika Alam Boleh Bicara )
c.     Happening Art.
d.     Menyelenggarakan Festival Teater Antar SLTA Se-Jawa Barat ke II.
e.     Mengisi Acara di Expo seni Pasundan yang diadakan di Lisma UNPAS.
f.      Mengisi acara di Expo Ita.

10. Tahun 2001
a.     Mengisi acara di Lises Citra Resmi UNWIM Tanjung Sari Sumedang .
b.     Mengisi Acara Gelar Teater yang diadakan lisma UNPAS (Produksi XVIII naskah :BOROK)
c.     Mengisi acara di Milad STUBA-UNISBA (Naskah : Hitam Putih)
d.     Mengundang teater Hijau Lima Satu UPN Vetreran Jakarta dan Teater DIKARI STSI Bandung untuk menggelar Pementasan diKampus ITA.

11. Tahun 2002
  1. Menyelenggarakan Gelar Monolog
  2. Happening Art
  3. Menyelenggarakan Festival Teater Antar SLTA Se-Jawa Barat ke III
  4. Produksi XIX Teater Lima Wajah (Tapak)
  5. Menyelenggarakan Pagelaran Seni Tradisi “Benjang” di lapangan Gasibu Bandung.
  6. Pagelaran bersama FOKALISMAS (Forum Komunikasi Lingkung Seni Mahasiswa Sunda)
  7. Pementasan Teater dalam acara Indonesia Menggugat
12. Tahun 2003
  1. Membuka Studi Teater Lima Wajah diikuti oleh 18 peserta.
  2. Menyelenggarakan Pagelaran Seni Tradisi “Seni Terbang” di Kampus Universitas Kebangsaan.
  3. Menyelenggarakan Workshop Kebudayaan dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Jawa Barat di AULA UK.
  4. Produksi XX Teater Lima Wajah (Ruang Tunggu).
  5. Mengikuti Pagelaran bersama FOKALISMAS II di Gedung RRI Bandung dan Monumen Perjuangan Jawa Barat.
13. Tahun 2004
  1. Happening Art
  2. Menyelenggarakan Festival Teater Antar SLTA Se-Jawa Barat ke IV.
  3. Produksi XXI Teater Lima Wajah (Episode Waktu)
  4. Mengisi Acara Parade Teater yang diadakan oleh Teater LENTERA Universitas Djuanda Bogor.
  5. Pendokumentasian Seni Tradisi “ Seni Terbang” di padepokan Seni Terbang Majalengka.
  6. Mengikuti Pagelaran bersama FOKALISMAS III di Bogor.
14. Tahun 2005
  1. Produksi XXII Teater Lima Wajah (Rumahku Nerakaku) bekerjasama dengan Teater Bumi SMA Muslimin I Bandung.
  2. Pementasan Teater Rumahku Nerakaku di GK. Rumentang Siang Bandung dalam rangka mengisi acara Milad Laskar Panggung.
  3. Pementasan Teater Rumahku Nerakaku di AULA Kampus UPI Bandung.
  4. Pementasan Teater Rumahku Nerakaku di AULA Sekolah SMA Muslimin I Bandung.
15. Tahun 2006
  1. Mengikuti Pagelaran bersama FOKALISMAS IV di Cirebon.


Program Kerja Teater Lima Wajah Tahun 2012


Program Kerja Teater Lima Wajah Tahun 2012.

Program kerja Teater Lima Wajah periode kepengurusan tahun 2012 adalah sebagai berikut :

1.      Milad Teater Lima Wajah ke 21 Tahun.
  • Diselenggarakan pada 5 Mei 2012.

2.      Lomba Baca Puisi tingkat SLTA se-Kota Bandung.
  • Diselenggarakan pada bulan Juni 2012.

3.        Produksi XXIII
  • Dilaksanakan pada bulan Juni 2012.

4.      Kubukakalbuku
  • Dilaksanakan pada bulan Juli 2012.

5.      Aksi diri
  • Dilaksanakan setiap satu bulan sekali

6.      Gelar Pentas Monolog.
  • Dilaksanakan pada bulan Oktober 2012.

7.      Musyawah Besar Anggota. 
  • Dilaksanakan pada bulan November 2012.

Perbedaan Teater dengan Drama


BEBERAPA PENGERTIAN
Kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi drama bisa berarti perbuatan atau tindakan.

ARTI DRAMA
Arti pertama dari Drama adalah kualitas komunikasi, situasi, actiom (segala yang terlihat di pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (axciting), dan ketegangan pada para pendengar.
Arti kedua, menurut Moulton Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action).
Menurut Ferdinand Brunetierre : Drama haruslah melahirkan  kehendak dengan action.
Menurut Balthazar Vallhagen : Drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sifat manusia dengan gerak.
Arti ketiga drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan penonton (audience).

ARTI TEATER
Ada yang mengartikan sebagai “gedung pertunjukan”, ada yang mengartikan sebagai “panggung” (stage). Secara Etimologi (asal kata), Teater Adalah Gedung Pertunjukan (auditorium).
Dalam arti luas Teater adalah kisah hidup dah kehidupan manusia yang dipertunjukan di depan orang banyak. Misalnya Wayang Orang, Ludruk, Lenong, Reog, Sulapan.
Dalam arti sempit Teater adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan dalam pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media, gerak, percakapan dan laku, dengan atau tanpa dekor (layer); Didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik.

APA PERBEDAAN DRAMA DENGAN TEATER
Teater dan drama, memiliki arti yang sama, tapi berbeda uangkapannya.Teater berasal dari kata yunanikuno "theatron" yang secara harfiah berarti gedung/tempat pertunjukan. Dengan demikian maka kata teater selalu mengandung arti pertunjukan/tontonan. Drama juga dari kata yunanai 'dran' yang berarti berbuat, berlaku atau beracting. Drama cenderung memiliki pengertian ke seni sastra. Didalam seni sastra, drama setaraf denagn jenis puisi, prosa/esai. Drama juga berarti suatu kejadian atau peristiwa tentang manusia. Apalagi peristiwa atau cerita tentang manusia kemudian diangkat kesuatu pentas sebagai suatau bentuk pertunjukan maka menjadi suatu peristiwa Teater. Kesimpulan teater tercipta karena adanya drama.


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah Adjib A., Pengantar Bermain Drama, CV Rosda, Bandung.
Noer C. Arifin, Teater Tanpa Masa Silam, DKJ, Jakarta, 2005.
Iman Sholeh & Rik Rik El Saptaria, Module Workshop Keaktoran Festamasio 3, TGM, Yogyakarta, 2005.

Sabtu, 09 Juni 2012

Sejarah Singkat Teater Lima Wajah


Berawal dari sebuah keiginan sekelompok Mahasiswa dalam kondis fasilitas yang serba terbatas hingga memaksa pemikiran, semagat juang dan obsesi yang berada dalam kukungan hati dan benak mereka untuk dapat mengekpresikan segala bentuk seni. Dengan tekad yang kuat maka tercurahlah setitik ide untuk mendirikan sebuah Organisasi yang dapat menyalurkan bakat dan minat tersebut, yang pada tanggal 5 Mei 1991 di Institut Teknologi Adityawarman yang saat itu beralamat di  Jl LLRE Martadinata yang sekarang menjadi Universitas Kebangsaan, Jl.Terusan Halimun 37 Bandung.

Dengan beranggotakan kurang lebih 30 Mahasiswa ITA pada masa pendirian Teater Lima Wajah, mereka mampu memberikan rasa simpatik dan respon yang baik bagi para civitas akademika Institut Teknologi Adityawarman yang sekarang menjadi Universitas Kebangsaan. Dengan berbekal dari suatu rasa simpatik dan respon yang baik, pendiri mulai berkontrentasi penuh dalam upaya memajukan Teater Lima Wajah khususnya dan Kampus Universitas Kebangsaan, hingga sekarang.

Misi dan Visi yang dibekalkan dari para pendiri Teater Lima Wajah dari tahun ketahun untuk generasi penerusnya adalah “ Menciptakan suatu bentuk kegiatan seni baik itu seni sastra, seni drama, seni musik, seni tari, maupun segala bentuk kesenian yang berbasis teknologi, karena teknologi tidak akan hilang sampai akhir jaman dan kita bisa mengimbanginya melalui kesenian”.

Suhu Teater Indonesia

Terlahir dengan nama Liem Tjoan Hok, di Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937, Teguh Karya yang oleh rekan terdekatnya akrab dipanggil Om Steve, adalah sutradara film pelanggan piala citra. Dia layak disebut suhu teater Indonesia yang banyak melahirkan sineas-sineas terkemuka. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman.

Beberapa aktor-aktris film Indonesia yang layak disebut sebagai bentukan Teguh, sebab mereka menjadi berjaya dan populer setelah membintangi film-film Teguh Karya, antara lain Slamet Rahardjo Djarot, Nano Riantiarno, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex Komang, Dewi Yul, Rae Sahetapi, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon (Alm), George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, Ninik L. Karim, dan Ayu Azhari.

Setali tiga uang, Teguh pun seakan menjadi abadi sebagai sutradara terbaik spesialis peraih Piala Citra, untuk setiap karya-karya film terbarunya. Dan bersamaan itu, film yang disutradarainya, sering pula terpilih menjadi film terbaik yang dianugerahi Piala Citra.

Sejumlah judul film karya Teguh yang berhasil mengangkat nama sutradara dan pemain bintangnya, diantaranya, Wajah Seorang Laki-Laki (1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan Semusim (1977), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1983), Doea Tanda Mata (1984), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1986).

Film pertama karya Teguh di tahun 1968 adalah film untuk anak-anak. Film serius konsumsi dewasa untuk pertama kali dihasilkannya pada tahun 1971, dan langsung menyabet beberapa penghargaan untuk kategori akting maupun penyutradaraan terbaik.

Karir dalam dunia film dirintisnya saat melakukan tugas praktik penulisan skenario film-film semi dokumenter, pada Perusahaan Film Negara (kini PPFN). Saat itu, mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1968-1972 ini antara lain berkesempatan bekerja pada sutradara D. Djajakusuma, Nya Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim Umboh, dan Asrul Sani, baik itu sebagai penata artistik, pemain, atau asisten sutradara.

Ketika film layar lebar bermedium pita seluloid meredup sementara waktu di awal tahun 1990-an, untuk digantikan layar kaca yang marak muncul dengan kehadiran stasiun teve baru, Teguh pun sempat mengubah medium seninya. Ia berkesempatan menghasilkan karya film sinema elektronik (sinetron) untuk televisi, seperti Pulang (1987), Arak-Arakan (1992), dan Pakaian dan Kepalsuan (1994).

Ia pertama-tama melakoni seni sebagai pemain drama, antara tahun 1957 hingga 1961. Teguh, yang waktu itu masih menggunakan nama lahir Steve Liem Tjoan Hok, sudah sering tampil di panggung dalam pementasan-pementasan yang diadakan oleh ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia).

Lalu, secara akademis Teguh Karya menyelesaikan pendidikan seni di berbagai perguruan tinggi. Seperti, di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta (tahun 1954-1955), Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI, 1957-1961), kemudian ke luar negeri East West Center Honolulu, Hawai (1962-1963) untuk belajar akting atau art directing. Kemampuan akademis itu kemudian dipadukan dengan pergaulannya yang intens dengan beberapa tokoh teater dan sutradara film legendarias, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma yang banyak mempengaruhi proses berkeseniannya. Teguh turut aktif membidani kelahiran Badan Pembina Teater Nasional Indonesia, di tahun 1962.

Sejak tahun 1968, ia mendirikan Teater Populer, yang hingga akhir hayat adalah kebanggaan sekaligus ‘kenderaan’ seni yang tetap difungsikan. Ia mendirikan sanggar seninya di Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat yang juga rumah kediamannya. Rumah ini disulap menjadi sanggar kreatif para seniman terkemuka di Tanah Air. Melalui Teater Populer, Teguh yang masih menggunakan nama Steve Liem, berkesempatan membentuk dan melahirkan banyak aktor serta aktris kenamaan.

Dari Teater Populer, banyak sineas baru mengikuti jejak Teguh untuk serius menapaki karir di industri perfilman. Tak heran jika Teguh dijuluki pula sebagai ‘Suhu Teater Indonesia’. Di antara pementasan Teater Populer yang mendapat sambutan meriah, adalah Jayaprana, Pernikahan Darah (1971), Inspektur Jenderal, Kopral Woyzeck (1973), dan Perempuan Pilihan Dewa (1974). Banyak kritikus seni menilai, beberapa lakon panggung yang disutradarai Teguh Karya berhasil mencapai puncak eksplorasi.Walau lahir dengan nama Liem Tjoan Hok, Teguh lebih merasa sebagai orang Banten. Ia memiliki seorang nenek kelahiran Bekasi, namanya Saodah, serta seorang sahabat Mang Dulapa, sais delman yang rutin membawa Teguh pulang pergi ketika masih duduk di bangku SD Pandeglang.

Memasuki bangku SMP, Teguh pindah ke Jakarta, menumpang di rumah Engku Dek pamannya. Anak pertama dari lima bersaudara pedagang kelontong ini kemudian mewarisi kegemaran membaca dari sang paman. Teguh boleh mendapat nilai jelek untuk aljabar dan ilmu ukur, namun untuk pelajaran sejarah, menggambar, dan bahasa ia selalu unggul.

Sepulang dari studi art directing di Hawai, Teguh bekerja sebagai manajer panggung di Hotel Indonesia. Karena itu, Teater Populer yang Teguh lahirkan tahun 1968 dimaksudkan pula untuk mengisi acara-acara di Hotel Indonesia. Jadilah teater pengusung aliran realisme ini, awalnya lebih dikenal sebagai Teater Populer Hotel Indonesia. Pemain pendukungnya sebagian besar adalah mahasiswa ATNI serta para penggiat teater independen.

Identitas kelahiran Teater Popuper, salah satunya, bersemangat menggali sisi keaktoran (kesenimanan) seseorang, untuk kemudian diekspresikan sebagai medium perwujudan sebuah pencapaian artistik tertentu. Teater Populer terlihat sangat ‘akademis’ mengungkapkan gagasan-gagasan teatrikal di atas panggung. Suguhan yang formal-akademis itu untuk mengejawantahkan teori-teori realisme, yang pembawaannya dimulai oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma saat mendirikan ATNI pada tahun 1950-an. Realisme itulah yang berhasil diserap Teguh saat kuliah di ATNI tahun 1957-1961.

Tentang pilihan hidupnya untuk tak menikah, Anggota Dewan Film Nasional (DFN) penerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1969), ini menyebutkan, karena di dalam dirinya ada ‘kamar-kamar’ untuk kreativitas, sahabat, negeri, dan kamar untuk lain-lain. Bicara soal perkawinan, kata Teguh, urutan kamarnya belum tentu sama untuk setiap orang. Ia mengaku sewaktu di SMA pernah beberapa kali pacaran, tetapi sang pacar selalu saja tidak tahan karena acapkali ditinggal menghadiri ceramah dan berbagai kegiatan kesenian lainnya.

Teguh Karya, yang sepanjang hayat memilih hidup melajang, menghembuskan nafas terakhir kali di RSAL Mintohardjo, Jakarta Pusat, pada 11 Desember 2001 di usia 64 tahun, setelah terserang stroke menyerang otak bagian memori sejak tahun 1998. Walau hari-hari akhir dihabiskan di atas kursi roda, sesungguhnya stroke tak membuat badannya lumpuh total melainkan otak bagian memorilah yang tak lagi mampu bekerja maksimal, seperti merespon pembicaraan.

Teguh adalah pria yang selalu berpenampilan sederhana, sangat dicintai dan disayangi oleh teman-teman seprofesi, maupun para seniman lain. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman.
Sebelum meninggal dunia, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, beserta istri Ny. Sinta Nuriyah, berkesempatan mengunjungi Teguh Karya, di rumah kediamannya, Kebon Kacang, Tanah Abang. Gus Dur yang pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sesuai janji datang mengunjungi sohib yang sudah lama direncanakan itu. Keduanya berbincang-bincang selama satu jam, bernostalgia.

Eksistensi Komunitas Teater

EKSISTENSI komunitas teater di mana pun mampu bertahan bukan hanya bermodalkan semangat kebersamaan, senasib sepenanggungan, hingga ke soal finansial. Kekuatannya lebih pada semangat dan ikatan emosional terhadap komunitas yang tumbuh dalam diri anggota karena panggilan batin.

"Tanpa dukungan spirit emosional dalam diri masing-masing akan seni peran, tidak mungkin suatu komunitas teater dapat bertahan lama. Tentunya semangat kebersamaan dan finansial juga memberikan andil," ujar Agus Safari, salah seorang dramaturg Laskar Panggung Bandung.

Kehadiran komunitas teater di Kota Bandung ataupun kota besar lainnya, tidak terlepas dari keberadaan komunitas teater kampus, sekolahan maupun independen. Komunitas teater ini pula yang kini berkembang dan tumbuh subur di Kota Bandung, geliatnya tengah kembali terjadi. Ini dibuktikan dengan kehadiran 74 komunitas teater dalam Festival Drama Basa Sunda X yang digelar Teater Sunda Kiwari, sejak 11 hingga 29 Februari 2008 di Gedung Kesenian Rumentang Siang Jln. Baranangsiang No. 1 Bandung.

Namun untuk tetap eksis, menurut Agus, bukanlah suatu perkara gampang. "Permasalahannya memang sangat kompleks. Selain dari sulitnya mencari sponsor untuk sebuah garapan, teater kampus atau sekolah juga masih ada yang menganggap kurang profesional," ujar Agus.

Padahal lepas dari itu semua, seharusnya tidak ada dikotomi dan pengotakan tentang keberadaan teater kampus, sekolah, dan independen. Karena pada dasarnya semua komunitas teater sama yakni untuk berproses, hanya saja permasalahannya mungkin terletak pada pandangan komunitas teater kampus dan sekolah masih selalu berbenturan dengan kegiatan perkuliahan, mata pelajaran, serta jadwal latihan.
Sangat berbeda dengan komunitas teater independen yang dinilai lebih terfokus untuk waktu sebuah garapan. Menurut Rosyid E. Abby, yang kini senantiasa membina kematangan anak-anak di komunitas teater sekolah, keberadaan teater kampus dan sekolah jarang menjadi sorotan publik penikmat seni teater. Kemunculannya kadang dikucilkan, hal itu pula yang sulit untuk dihilangkan dari pandangan sebagian masyarakat kita.

Jangan heran kalau terkadang komunitas teater kampus atau sekolah di Indonesia sulit untuk muncul. Kalaupun mampu tampil, hanya di kalangan intern (kampus atau sekolah). Namun demikian, hal tersebut tidak menjadikan mereka patah arang. "Proses adalah bagian yang tetap harus dijalani meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Hal tersebut terbukti di sejumlah perguruan tinggi dan sekolah tingkat SMA, pamor komunitas teater tengah kembali bangkit dan menjauh dari ambang kepunahan," ujar Rosyid.

Menyikapi hal tersebut, maka perlu adanya suatu pemulihan terhadap kondisi tersebut, salah satunya dengan kegiatan rutin (festival) sebagaimana yang digelar Teater Sunda Kiwari. "Ya, jangan sampai teater kampus atau sekolah dianggap jago kandang, yang hanya bisa main di kampus atau sekolah sendiri, jangan sampai pamornya meredup dan hanya dikenal di kalangan terbatas," ujar Rosyid yang beberapa kali bersama Komunitas Teater Senapati (Seni nu Aya di Pasundan Tilu) menggelar "Kasidah Cinta Jalma-jalma nu Iman".

Tidak jauh berbeda, seperti halnya komunitas teater rakyat, disadari atau tidak, persaingan di komunitas teater kampus maupun sekolah dan independen terus dan akan terjadi. Dunia panggung kadang dijadikan eksploitasi untuk sekadar mencari keuntungan belaka bagi sebagian pihak tertentu. Namun, komunitas teater kampus atau sekolah umumnya tidak bisa mendapatkan sponsor untuk pementasannya. Oleh karena itu, setiap pemain terpaksa merogoh isi saku masing-masing untuk biaya produksi.

Kesulitan seperti mendapatkan sponsor untuk sebuah pementasan bagi teater kampus maupun sekolah merupakan salah satu yang menjadi sebab sulitnya mereka muncul ke permukaan dan dikenal. Hal ini tentunya bisa mematikan semangat berproses. Bagi sebagian komunitas, hal ini tentunya akan diminimalkan dengan mengeluarkan isi saku pribadi. Namun, perlahan-lahan solusi seperti ini pun akan mengalami kemandekan.

Namun, Lukman Sare dari Komunitas Teater Salapan berpendapat kesulitan biaya produksi pementasan jangan dijadikan alasan untuk matinya sebuah kreativitas.

Contoh yang sangat membuat siapa pun terenyuh adalah semangat rekan-rekan di Komunitas Teater Palagan yang semua anggotanya tunanetra. Mereka berdaya upaya untuk menekuni komunitas teater meski memiliki keterbatasan finansial maupun pancaindera.

Komunitas teater dengan keteaterannya menurut Agus Safari, adalah permainan karena konsep yang dianut adalah teater bebas. "Karena bebas, ia tak akan punya batas. Karena tak punya batas, ia akan bebas. Bebas berdekonstruksi, bebas berekspresi, bebas bereksplorasi, bebas bereksperimentasi, bebas berorientasi, dan bebas berideologi. Namun, tidak bebas berargumentasi. Oleh karena itu, dalam membangun komunitas pun harus mampu melewati pembatas," ujar Agus.

Dalam komunitas teater yang utama adalah keriangan sehingga akan lahir ketulusan yang mengalir terus-menerus tanpa kepura-puraan atau artifisial.