Footer

Sabtu, 09 Juni 2012

Eksistensi Komunitas Teater

EKSISTENSI komunitas teater di mana pun mampu bertahan bukan hanya bermodalkan semangat kebersamaan, senasib sepenanggungan, hingga ke soal finansial. Kekuatannya lebih pada semangat dan ikatan emosional terhadap komunitas yang tumbuh dalam diri anggota karena panggilan batin.

"Tanpa dukungan spirit emosional dalam diri masing-masing akan seni peran, tidak mungkin suatu komunitas teater dapat bertahan lama. Tentunya semangat kebersamaan dan finansial juga memberikan andil," ujar Agus Safari, salah seorang dramaturg Laskar Panggung Bandung.

Kehadiran komunitas teater di Kota Bandung ataupun kota besar lainnya, tidak terlepas dari keberadaan komunitas teater kampus, sekolahan maupun independen. Komunitas teater ini pula yang kini berkembang dan tumbuh subur di Kota Bandung, geliatnya tengah kembali terjadi. Ini dibuktikan dengan kehadiran 74 komunitas teater dalam Festival Drama Basa Sunda X yang digelar Teater Sunda Kiwari, sejak 11 hingga 29 Februari 2008 di Gedung Kesenian Rumentang Siang Jln. Baranangsiang No. 1 Bandung.

Namun untuk tetap eksis, menurut Agus, bukanlah suatu perkara gampang. "Permasalahannya memang sangat kompleks. Selain dari sulitnya mencari sponsor untuk sebuah garapan, teater kampus atau sekolah juga masih ada yang menganggap kurang profesional," ujar Agus.

Padahal lepas dari itu semua, seharusnya tidak ada dikotomi dan pengotakan tentang keberadaan teater kampus, sekolah, dan independen. Karena pada dasarnya semua komunitas teater sama yakni untuk berproses, hanya saja permasalahannya mungkin terletak pada pandangan komunitas teater kampus dan sekolah masih selalu berbenturan dengan kegiatan perkuliahan, mata pelajaran, serta jadwal latihan.
Sangat berbeda dengan komunitas teater independen yang dinilai lebih terfokus untuk waktu sebuah garapan. Menurut Rosyid E. Abby, yang kini senantiasa membina kematangan anak-anak di komunitas teater sekolah, keberadaan teater kampus dan sekolah jarang menjadi sorotan publik penikmat seni teater. Kemunculannya kadang dikucilkan, hal itu pula yang sulit untuk dihilangkan dari pandangan sebagian masyarakat kita.

Jangan heran kalau terkadang komunitas teater kampus atau sekolah di Indonesia sulit untuk muncul. Kalaupun mampu tampil, hanya di kalangan intern (kampus atau sekolah). Namun demikian, hal tersebut tidak menjadikan mereka patah arang. "Proses adalah bagian yang tetap harus dijalani meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Hal tersebut terbukti di sejumlah perguruan tinggi dan sekolah tingkat SMA, pamor komunitas teater tengah kembali bangkit dan menjauh dari ambang kepunahan," ujar Rosyid.

Menyikapi hal tersebut, maka perlu adanya suatu pemulihan terhadap kondisi tersebut, salah satunya dengan kegiatan rutin (festival) sebagaimana yang digelar Teater Sunda Kiwari. "Ya, jangan sampai teater kampus atau sekolah dianggap jago kandang, yang hanya bisa main di kampus atau sekolah sendiri, jangan sampai pamornya meredup dan hanya dikenal di kalangan terbatas," ujar Rosyid yang beberapa kali bersama Komunitas Teater Senapati (Seni nu Aya di Pasundan Tilu) menggelar "Kasidah Cinta Jalma-jalma nu Iman".

Tidak jauh berbeda, seperti halnya komunitas teater rakyat, disadari atau tidak, persaingan di komunitas teater kampus maupun sekolah dan independen terus dan akan terjadi. Dunia panggung kadang dijadikan eksploitasi untuk sekadar mencari keuntungan belaka bagi sebagian pihak tertentu. Namun, komunitas teater kampus atau sekolah umumnya tidak bisa mendapatkan sponsor untuk pementasannya. Oleh karena itu, setiap pemain terpaksa merogoh isi saku masing-masing untuk biaya produksi.

Kesulitan seperti mendapatkan sponsor untuk sebuah pementasan bagi teater kampus maupun sekolah merupakan salah satu yang menjadi sebab sulitnya mereka muncul ke permukaan dan dikenal. Hal ini tentunya bisa mematikan semangat berproses. Bagi sebagian komunitas, hal ini tentunya akan diminimalkan dengan mengeluarkan isi saku pribadi. Namun, perlahan-lahan solusi seperti ini pun akan mengalami kemandekan.

Namun, Lukman Sare dari Komunitas Teater Salapan berpendapat kesulitan biaya produksi pementasan jangan dijadikan alasan untuk matinya sebuah kreativitas.

Contoh yang sangat membuat siapa pun terenyuh adalah semangat rekan-rekan di Komunitas Teater Palagan yang semua anggotanya tunanetra. Mereka berdaya upaya untuk menekuni komunitas teater meski memiliki keterbatasan finansial maupun pancaindera.

Komunitas teater dengan keteaterannya menurut Agus Safari, adalah permainan karena konsep yang dianut adalah teater bebas. "Karena bebas, ia tak akan punya batas. Karena tak punya batas, ia akan bebas. Bebas berdekonstruksi, bebas berekspresi, bebas bereksplorasi, bebas bereksperimentasi, bebas berorientasi, dan bebas berideologi. Namun, tidak bebas berargumentasi. Oleh karena itu, dalam membangun komunitas pun harus mampu melewati pembatas," ujar Agus.

Dalam komunitas teater yang utama adalah keriangan sehingga akan lahir ketulusan yang mengalir terus-menerus tanpa kepura-puraan atau artifisial.

0 komentar: