"Jam Hiji Dua Puluh Salapan Menit"

Produksi ke-25 Tahun 2016

"K A L A N G S U"

Produksi ke-24 Tahun 2016.

"O R A N G A S I N G"

Resital STIA 2016

GELAR KREATIVITAS SENI MAHASISWA 2017

26 th Teater Lima Wajah.

Pementasan Drama Cucunguk

PRODUKSI Ke-23 Teater Lima Wajah.

Footer

Sabtu, 09 Juni 2012

Sejarah Singkat Teater Lima Wajah


Berawal dari sebuah keiginan sekelompok Mahasiswa dalam kondis fasilitas yang serba terbatas hingga memaksa pemikiran, semagat juang dan obsesi yang berada dalam kukungan hati dan benak mereka untuk dapat mengekpresikan segala bentuk seni. Dengan tekad yang kuat maka tercurahlah setitik ide untuk mendirikan sebuah Organisasi yang dapat menyalurkan bakat dan minat tersebut, yang pada tanggal 5 Mei 1991 di Institut Teknologi Adityawarman yang saat itu beralamat di  Jl LLRE Martadinata yang sekarang menjadi Universitas Kebangsaan, Jl.Terusan Halimun 37 Bandung.

Dengan beranggotakan kurang lebih 30 Mahasiswa ITA pada masa pendirian Teater Lima Wajah, mereka mampu memberikan rasa simpatik dan respon yang baik bagi para civitas akademika Institut Teknologi Adityawarman yang sekarang menjadi Universitas Kebangsaan. Dengan berbekal dari suatu rasa simpatik dan respon yang baik, pendiri mulai berkontrentasi penuh dalam upaya memajukan Teater Lima Wajah khususnya dan Kampus Universitas Kebangsaan, hingga sekarang.

Misi dan Visi yang dibekalkan dari para pendiri Teater Lima Wajah dari tahun ketahun untuk generasi penerusnya adalah “ Menciptakan suatu bentuk kegiatan seni baik itu seni sastra, seni drama, seni musik, seni tari, maupun segala bentuk kesenian yang berbasis teknologi, karena teknologi tidak akan hilang sampai akhir jaman dan kita bisa mengimbanginya melalui kesenian”.

Suhu Teater Indonesia

Terlahir dengan nama Liem Tjoan Hok, di Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937, Teguh Karya yang oleh rekan terdekatnya akrab dipanggil Om Steve, adalah sutradara film pelanggan piala citra. Dia layak disebut suhu teater Indonesia yang banyak melahirkan sineas-sineas terkemuka. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman.

Beberapa aktor-aktris film Indonesia yang layak disebut sebagai bentukan Teguh, sebab mereka menjadi berjaya dan populer setelah membintangi film-film Teguh Karya, antara lain Slamet Rahardjo Djarot, Nano Riantiarno, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex Komang, Dewi Yul, Rae Sahetapi, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon (Alm), George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, Ninik L. Karim, dan Ayu Azhari.

Setali tiga uang, Teguh pun seakan menjadi abadi sebagai sutradara terbaik spesialis peraih Piala Citra, untuk setiap karya-karya film terbarunya. Dan bersamaan itu, film yang disutradarainya, sering pula terpilih menjadi film terbaik yang dianugerahi Piala Citra.

Sejumlah judul film karya Teguh yang berhasil mengangkat nama sutradara dan pemain bintangnya, diantaranya, Wajah Seorang Laki-Laki (1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan Semusim (1977), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1983), Doea Tanda Mata (1984), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1986).

Film pertama karya Teguh di tahun 1968 adalah film untuk anak-anak. Film serius konsumsi dewasa untuk pertama kali dihasilkannya pada tahun 1971, dan langsung menyabet beberapa penghargaan untuk kategori akting maupun penyutradaraan terbaik.

Karir dalam dunia film dirintisnya saat melakukan tugas praktik penulisan skenario film-film semi dokumenter, pada Perusahaan Film Negara (kini PPFN). Saat itu, mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1968-1972 ini antara lain berkesempatan bekerja pada sutradara D. Djajakusuma, Nya Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim Umboh, dan Asrul Sani, baik itu sebagai penata artistik, pemain, atau asisten sutradara.

Ketika film layar lebar bermedium pita seluloid meredup sementara waktu di awal tahun 1990-an, untuk digantikan layar kaca yang marak muncul dengan kehadiran stasiun teve baru, Teguh pun sempat mengubah medium seninya. Ia berkesempatan menghasilkan karya film sinema elektronik (sinetron) untuk televisi, seperti Pulang (1987), Arak-Arakan (1992), dan Pakaian dan Kepalsuan (1994).

Ia pertama-tama melakoni seni sebagai pemain drama, antara tahun 1957 hingga 1961. Teguh, yang waktu itu masih menggunakan nama lahir Steve Liem Tjoan Hok, sudah sering tampil di panggung dalam pementasan-pementasan yang diadakan oleh ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia).

Lalu, secara akademis Teguh Karya menyelesaikan pendidikan seni di berbagai perguruan tinggi. Seperti, di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta (tahun 1954-1955), Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI, 1957-1961), kemudian ke luar negeri East West Center Honolulu, Hawai (1962-1963) untuk belajar akting atau art directing. Kemampuan akademis itu kemudian dipadukan dengan pergaulannya yang intens dengan beberapa tokoh teater dan sutradara film legendarias, seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma yang banyak mempengaruhi proses berkeseniannya. Teguh turut aktif membidani kelahiran Badan Pembina Teater Nasional Indonesia, di tahun 1962.

Sejak tahun 1968, ia mendirikan Teater Populer, yang hingga akhir hayat adalah kebanggaan sekaligus ‘kenderaan’ seni yang tetap difungsikan. Ia mendirikan sanggar seninya di Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat yang juga rumah kediamannya. Rumah ini disulap menjadi sanggar kreatif para seniman terkemuka di Tanah Air. Melalui Teater Populer, Teguh yang masih menggunakan nama Steve Liem, berkesempatan membentuk dan melahirkan banyak aktor serta aktris kenamaan.

Dari Teater Populer, banyak sineas baru mengikuti jejak Teguh untuk serius menapaki karir di industri perfilman. Tak heran jika Teguh dijuluki pula sebagai ‘Suhu Teater Indonesia’. Di antara pementasan Teater Populer yang mendapat sambutan meriah, adalah Jayaprana, Pernikahan Darah (1971), Inspektur Jenderal, Kopral Woyzeck (1973), dan Perempuan Pilihan Dewa (1974). Banyak kritikus seni menilai, beberapa lakon panggung yang disutradarai Teguh Karya berhasil mencapai puncak eksplorasi.Walau lahir dengan nama Liem Tjoan Hok, Teguh lebih merasa sebagai orang Banten. Ia memiliki seorang nenek kelahiran Bekasi, namanya Saodah, serta seorang sahabat Mang Dulapa, sais delman yang rutin membawa Teguh pulang pergi ketika masih duduk di bangku SD Pandeglang.

Memasuki bangku SMP, Teguh pindah ke Jakarta, menumpang di rumah Engku Dek pamannya. Anak pertama dari lima bersaudara pedagang kelontong ini kemudian mewarisi kegemaran membaca dari sang paman. Teguh boleh mendapat nilai jelek untuk aljabar dan ilmu ukur, namun untuk pelajaran sejarah, menggambar, dan bahasa ia selalu unggul.

Sepulang dari studi art directing di Hawai, Teguh bekerja sebagai manajer panggung di Hotel Indonesia. Karena itu, Teater Populer yang Teguh lahirkan tahun 1968 dimaksudkan pula untuk mengisi acara-acara di Hotel Indonesia. Jadilah teater pengusung aliran realisme ini, awalnya lebih dikenal sebagai Teater Populer Hotel Indonesia. Pemain pendukungnya sebagian besar adalah mahasiswa ATNI serta para penggiat teater independen.

Identitas kelahiran Teater Popuper, salah satunya, bersemangat menggali sisi keaktoran (kesenimanan) seseorang, untuk kemudian diekspresikan sebagai medium perwujudan sebuah pencapaian artistik tertentu. Teater Populer terlihat sangat ‘akademis’ mengungkapkan gagasan-gagasan teatrikal di atas panggung. Suguhan yang formal-akademis itu untuk mengejawantahkan teori-teori realisme, yang pembawaannya dimulai oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma saat mendirikan ATNI pada tahun 1950-an. Realisme itulah yang berhasil diserap Teguh saat kuliah di ATNI tahun 1957-1961.

Tentang pilihan hidupnya untuk tak menikah, Anggota Dewan Film Nasional (DFN) penerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1969), ini menyebutkan, karena di dalam dirinya ada ‘kamar-kamar’ untuk kreativitas, sahabat, negeri, dan kamar untuk lain-lain. Bicara soal perkawinan, kata Teguh, urutan kamarnya belum tentu sama untuk setiap orang. Ia mengaku sewaktu di SMA pernah beberapa kali pacaran, tetapi sang pacar selalu saja tidak tahan karena acapkali ditinggal menghadiri ceramah dan berbagai kegiatan kesenian lainnya.

Teguh Karya, yang sepanjang hayat memilih hidup melajang, menghembuskan nafas terakhir kali di RSAL Mintohardjo, Jakarta Pusat, pada 11 Desember 2001 di usia 64 tahun, setelah terserang stroke menyerang otak bagian memori sejak tahun 1998. Walau hari-hari akhir dihabiskan di atas kursi roda, sesungguhnya stroke tak membuat badannya lumpuh total melainkan otak bagian memorilah yang tak lagi mampu bekerja maksimal, seperti merespon pembicaraan.

Teguh adalah pria yang selalu berpenampilan sederhana, sangat dicintai dan disayangi oleh teman-teman seprofesi, maupun para seniman lain. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru, sekaligus teman.
Sebelum meninggal dunia, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, beserta istri Ny. Sinta Nuriyah, berkesempatan mengunjungi Teguh Karya, di rumah kediamannya, Kebon Kacang, Tanah Abang. Gus Dur yang pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sesuai janji datang mengunjungi sohib yang sudah lama direncanakan itu. Keduanya berbincang-bincang selama satu jam, bernostalgia.

Eksistensi Komunitas Teater

EKSISTENSI komunitas teater di mana pun mampu bertahan bukan hanya bermodalkan semangat kebersamaan, senasib sepenanggungan, hingga ke soal finansial. Kekuatannya lebih pada semangat dan ikatan emosional terhadap komunitas yang tumbuh dalam diri anggota karena panggilan batin.

"Tanpa dukungan spirit emosional dalam diri masing-masing akan seni peran, tidak mungkin suatu komunitas teater dapat bertahan lama. Tentunya semangat kebersamaan dan finansial juga memberikan andil," ujar Agus Safari, salah seorang dramaturg Laskar Panggung Bandung.

Kehadiran komunitas teater di Kota Bandung ataupun kota besar lainnya, tidak terlepas dari keberadaan komunitas teater kampus, sekolahan maupun independen. Komunitas teater ini pula yang kini berkembang dan tumbuh subur di Kota Bandung, geliatnya tengah kembali terjadi. Ini dibuktikan dengan kehadiran 74 komunitas teater dalam Festival Drama Basa Sunda X yang digelar Teater Sunda Kiwari, sejak 11 hingga 29 Februari 2008 di Gedung Kesenian Rumentang Siang Jln. Baranangsiang No. 1 Bandung.

Namun untuk tetap eksis, menurut Agus, bukanlah suatu perkara gampang. "Permasalahannya memang sangat kompleks. Selain dari sulitnya mencari sponsor untuk sebuah garapan, teater kampus atau sekolah juga masih ada yang menganggap kurang profesional," ujar Agus.

Padahal lepas dari itu semua, seharusnya tidak ada dikotomi dan pengotakan tentang keberadaan teater kampus, sekolah, dan independen. Karena pada dasarnya semua komunitas teater sama yakni untuk berproses, hanya saja permasalahannya mungkin terletak pada pandangan komunitas teater kampus dan sekolah masih selalu berbenturan dengan kegiatan perkuliahan, mata pelajaran, serta jadwal latihan.
Sangat berbeda dengan komunitas teater independen yang dinilai lebih terfokus untuk waktu sebuah garapan. Menurut Rosyid E. Abby, yang kini senantiasa membina kematangan anak-anak di komunitas teater sekolah, keberadaan teater kampus dan sekolah jarang menjadi sorotan publik penikmat seni teater. Kemunculannya kadang dikucilkan, hal itu pula yang sulit untuk dihilangkan dari pandangan sebagian masyarakat kita.

Jangan heran kalau terkadang komunitas teater kampus atau sekolah di Indonesia sulit untuk muncul. Kalaupun mampu tampil, hanya di kalangan intern (kampus atau sekolah). Namun demikian, hal tersebut tidak menjadikan mereka patah arang. "Proses adalah bagian yang tetap harus dijalani meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Hal tersebut terbukti di sejumlah perguruan tinggi dan sekolah tingkat SMA, pamor komunitas teater tengah kembali bangkit dan menjauh dari ambang kepunahan," ujar Rosyid.

Menyikapi hal tersebut, maka perlu adanya suatu pemulihan terhadap kondisi tersebut, salah satunya dengan kegiatan rutin (festival) sebagaimana yang digelar Teater Sunda Kiwari. "Ya, jangan sampai teater kampus atau sekolah dianggap jago kandang, yang hanya bisa main di kampus atau sekolah sendiri, jangan sampai pamornya meredup dan hanya dikenal di kalangan terbatas," ujar Rosyid yang beberapa kali bersama Komunitas Teater Senapati (Seni nu Aya di Pasundan Tilu) menggelar "Kasidah Cinta Jalma-jalma nu Iman".

Tidak jauh berbeda, seperti halnya komunitas teater rakyat, disadari atau tidak, persaingan di komunitas teater kampus maupun sekolah dan independen terus dan akan terjadi. Dunia panggung kadang dijadikan eksploitasi untuk sekadar mencari keuntungan belaka bagi sebagian pihak tertentu. Namun, komunitas teater kampus atau sekolah umumnya tidak bisa mendapatkan sponsor untuk pementasannya. Oleh karena itu, setiap pemain terpaksa merogoh isi saku masing-masing untuk biaya produksi.

Kesulitan seperti mendapatkan sponsor untuk sebuah pementasan bagi teater kampus maupun sekolah merupakan salah satu yang menjadi sebab sulitnya mereka muncul ke permukaan dan dikenal. Hal ini tentunya bisa mematikan semangat berproses. Bagi sebagian komunitas, hal ini tentunya akan diminimalkan dengan mengeluarkan isi saku pribadi. Namun, perlahan-lahan solusi seperti ini pun akan mengalami kemandekan.

Namun, Lukman Sare dari Komunitas Teater Salapan berpendapat kesulitan biaya produksi pementasan jangan dijadikan alasan untuk matinya sebuah kreativitas.

Contoh yang sangat membuat siapa pun terenyuh adalah semangat rekan-rekan di Komunitas Teater Palagan yang semua anggotanya tunanetra. Mereka berdaya upaya untuk menekuni komunitas teater meski memiliki keterbatasan finansial maupun pancaindera.

Komunitas teater dengan keteaterannya menurut Agus Safari, adalah permainan karena konsep yang dianut adalah teater bebas. "Karena bebas, ia tak akan punya batas. Karena tak punya batas, ia akan bebas. Bebas berdekonstruksi, bebas berekspresi, bebas bereksplorasi, bebas bereksperimentasi, bebas berorientasi, dan bebas berideologi. Namun, tidak bebas berargumentasi. Oleh karena itu, dalam membangun komunitas pun harus mampu melewati pembatas," ujar Agus.

Dalam komunitas teater yang utama adalah keriangan sehingga akan lahir ketulusan yang mengalir terus-menerus tanpa kepura-puraan atau artifisial.